Bagian Pertama
Kiani Batari
Seorang wanita berambut coklat dengan panjang rambut sebahu tengah
terduduk dipojok kafe berukuran 7*7 m, tidak jauh dari hadapannya terdapat
panggung kecil yang dipersembahkan untuk para pengunjung kafe yang diisi dengan
berbagai macam penampilan menarik. Salah satunya adalah penampilan dari seorang
barista yang memiliki bakat bernyanyi. Kafe ini selalu ramai oleh anak-anak
muda yang sengaja mampir untuk sekedar nongkrong atau menikmati secangkir kopi
yang rasanya bercita rasa khas. Selain dari itu, lelaki yang sedang bernyanyi
dan bergitar itu menjadi salah satu faktor penyebab kafe ini ramai. Namun, diantara pengunjung kafe yang tertarik dengan penampilannya, wanita itu lebih memiih
mengalihkan pandangannya kearah luar daripada memperhatikan penyanyi tersebut,
baginya taka da yang menarik perhatiannya akhir-akhir ini selain sendirian.
Wanita itu kini menghela nafas panjang, lalu menatap cincin yang berada di jari
manisnya, ia tersenyum sinis, perlahan ia melepaskan cincin itu dan meleparkannya
keluar dari jendela. Kopi yang ia pesan
hampir dingin begitupun dengan perasaanya, entahlah ada sedikit rasa lega
setelah ia melempar cincin tersebut, sekaan-akan ia melemparkan seluruh masalah
yang merundung hidupnya. Ia mengingat-ingat lagi seseorang yang telah
menghancurkan hodupnya sampai menjadi sehancur ini.
2 Bulan yang Lalu
“Kiani!” wanita berambut coklat
itu segera menoleh setelah mendengar seseorang memanggil namanya.
“Apa Aqila?” Tanyanya ramah.
Aqila, dia merupakan teman SMA Kiani yang seolah menjadi bagian dari hidupnya.
Di hari yang penting ini, semua keluarga dan teman dekat Kiani berkumpul, jika
kamu Tanya ada acara apa, ini adalah persiapan lamaran Kiani dan kekasihnya,
Virga Agio.
Aqila memberikan sebuah bouquet
bunga berwarna biru dengan hiasan bunga lily ditengahnya.
“Nih, buat musuh bebuyutan” Jawab
Aqilla sambil memberikan bouqet tersebut kepada Kiani.
“Makasih loh! Tahu aja nih warna
kesukaan musuh.”
“Haha, iya dong, udah tiga tahun
bareng-bareng mulu masa gak tahu kesukaan lu”
Sebagai sahabat Kiani, Aqila bisa
merasakan betapa bahagia sahabatnya hari ini.
“Besok, lu kan mau tunangan sama
bebeb lu, ya kan?” Tanya Aqila menggoda
“Alay banget sih bebeb. Biasa aja
kali, Virga”
“Iya iya, semoga si Virga tuh ya
bisa jagain elu, lagian kalo udah tunangan tuh kemungkinan besarnya langsung
nikah, terus udah nikah lu punya anak, bahagia banget ya sahabat gue yang satu
ini”
“AAMIIN” Teriak Kiani bersemangat
mengaminkan apa yang dikatakan sahabatnya.
“Jangan lupain gue ya?”
“Iya Aqilla, mana ad ague lupain
lu. Asal..”
“Asal apaan?”
“Asal lu ngamplop aja ke nikahan
gue ntar”
“Beuh, kurang ajar” Aqila
tertawa.
Jam menunjukan pukul tiga sore,
semua yang hadir membantu dan meramaikan suasana rumah dan kebahagiaan Kiani,
satu persatu mulai berpamitan termasuk Aqilla. Kiani mengantarkan Aqilla sampai
ke bibir pintu.
“Eh, Qila. Lu jangan kesiangan
besok! Cukup pas sekolah aja kesiangannya, ke acara lamaran gue jangan” Celetuk
Kiani.
“Iya insyaallah Kiani Batari,
lagian gue juga udah nyewa hotel deket sini, jadi ntar gue jamin gak bakal
kesiangan”
“Iii.. gemes deh”
“Nah, alaynya kumat” Celetuk
Aqilla. Kiani tertawa lalu melambaikan tangan pada sahaabatnya itu
“Take care yaa Aqilla” Teriaknya,
Aqilla mengangguk lalu langsung melaju menggunakan mobilnya.
Kiani Batari, seorang wanita berusia duapuluh tahun ini tak menyangka, besok adalah hari dimana ia akan bertunangan dengan kekasihnya, Virga Agio. Lelaki yang dikenalnya 4 tahun lalu, saat ia duduk di bangku SMA. Virga merupakan kaka kelasnya yang berhasil merebut hati Kiani. Tiga tahun bukan hal yang sebentar untuk mempertahankan sebuah hubungan.
Bagi Kiani, Virga merupakan lelaki yang paling sempurna yang pernah ia temui. Ia bisa menggantikan rasa kehilangan atas kepergian ibunya 8 tahun lalu. Di usia Kiani yang menginjak 12 tahun, ia harus menghadapi kenyataan pahit atas kematian ibunya yang mengidap lekeumia. Selama hidupnya, Kiani kehilangan arti keluarga. Ibunya sakit keras dan ayahnya yang berselingkuh secara terang-terangan di mata Kiani membuat Kiani menjadi anak yang kehilangan tumpuan hidup. Ibunya mengidap kanker sejak Kiani berusia 4 tahun, sejak saat itu ayah Kiani jarang tinggal dirumah dan sering membawa wanita lain secara terang-terangan dihadapan ibunnya.
Melihat suaminya yang terang-terangan membuangnya membuat ia makin terpuruk, tak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain bersabar dan menguatkan anak sematawayangnya, Kiani Batari. Tapi, Kiani bukan anak yang lemah, sejak ayahnya yang terang-terangan membuang ia dan ibunya, Kiani dan ibunya pergi dari rumah dan menetap di rumah neneknya. Rumah itu terbilang sederhana. Selama tinggal 2 bulan di rumah neneknya itu, Kiani merawat ibunya bersama Bi Asri, ia kadang hawatir dengan kondisi ibunya yang makin memburuk, tapi utungnya Bi Asri selalu membantu dan menenangkannya, setidaknya ia tidak terlalu merasa sendirian di keadaan yang menyakitkan ini. Tanpa ada angin atau hujan tiba-tiba ayah Kiani datang ke rumah tersebut, memeluk Kiani. Kiani yang saat itu masih berusia 12 tahun tak bisa membohongi diri, ia rindu dengan ayahnya, tapi ia benci dengan apa yang dilakukan Sang Ayah kepadanya juga ibunya. Pelukan ayahnya berhasil membuat Kiani luluh,ia menangis,. Begitupula ayahnya.
“Ibu mana, nak?”
“Di kamar, Yah. Ibu udah satu bulan gak bisa jalan, kondisinya makin memburuk” Jawab Kiani, tangisnya hampir pecah kembali setelah lama ini merawat ibunya sendirian. Di rumah nenek Kiani ini memang tidak ada siapa-siapa karena nenek dan kakek Kiani meninggal 3 tahun lalu. Kiani merawat ibunya sendirian, bersama dengan Bi Asri, pembantunya yang sudah lama mengurusi Kiani 12 tahun lalu.
“Bi Asri ada?” Tanya ayahnya
kembali, memastikan.
“Ada, Yah. Tapi, rencananya minggu ini Bi Asri disuruh ibu mengundurkan diri, uang pengobatan dari ayah abis buat nebus obat ibu, jadi untuk gaji Bi Asri pun sudah habis, Yah.” bibir Kiani bergetar menceritakan bagaimana perihnya ia selama ini, lelaki paruh baya yang dihadapannya itu tertunduk, seakan tersirat ia menyesal dengan apa yang dilakukannya selama ini.
“Ayah mau ketemu ibu, boleh ya,
Nak?”
Kiani mengangguk semangat, lalu menarik tangan ayahnya memasuki kamar, tempat ibunya berbaring. Benar saja apa yang dikatakan anaknya. Wanita itu terbaring lemah diatas tempat tidur, wajahnya pucat pasi, rambut yang dulu selalu dipuji oleh suaminya kini tak seindah dulu. Mungkin efek dari kemoterapi membuat rambutnya rontok dan badannya tak berisi lagi. Wanita itu menatap lemah lelaki yang selama ini menjadi suaminya, ia menangis tak bersuara.
“Maaf..” Lelaki itu kini tumbang
dihadapannya. Tangannya menggengam erat jemari istrinya, ia mendunduk lalu
menangis hebat.
Istrinya memalingkan pandangan,
ia merasa membenci suaminya, yang telah berani membuagnya saat ia sakit keras
dan sekarang dengan mudahnya meminta maaf
kepadanya seperti ini, sayang tubuhnya lemah, jika saja ia masih sesehat
dulu, ia akan menampar suaminya dan mendorongnya keluar rumah, mengusrinya dan
memarahinya mengapa berani memperlakukannya sekejam ini.
Tapi yang ia lakukan sekarang hanya
menangis, dadanya sesak, seakan-akan semua yang ia keluhkan selama ini
berdesakan untuk keluar bersamaan dari dalam dadanya yang sempit.
“Mau apa kamu kesini?” Tanyanya
lemah, lelaki itu masih menunduk dan menangis. Kakinya berlutut dihadapan
istrinya yang terbaring lemah itu.
“Jika kamu meminta kembali, aku menolak” Jawabnya, suaranya bergetar, ia menahan agar tak terlihat lemah dihadapan lelaki yang telah berani membuangnya.
Lelaki itu diam, masih dengan
tangis yang sama. Kiani memeluk ayahnya dari belakang, Ia tahu ayahnya salah,
tapi untuk sekarang ia lebih membutuhkan sosok ayahnya daripada kebenciannya.
Ia tahu bagaimana ayahnya menyayanginya, ia tahu bagaimana cara ayahnya
menghiburnya saat ia menangis terjatuh dari sepeda, ia tahu bagaimana hangat
peluk ayahnya saat ia tak bahagia. Ia mengingat bahwa seburuk apapun dia,
lelaki itu tetap ayahnya.
Kiani makin erat memeluk punggung ayahnya, perasaanya sedikit lega, kini ia tak lagi menangis sendirian di kamar karena melihat keadaan ibunya yang makin memburuk, ia tak lagi ketakutan saat ibunya memuntahkan darah, atau melihat gumpalan rambut di bantal ibunya. Ia sedikit tenang jika ayahnya mau kembali memeluknya, setidaknya dunianya kembali lengkap.
“Aku..aku..” Jawaban ayahnya yang terputus-putus membuat Kiani makin erat memeluk ayahnya.
Ia ingin memohon agar ayahnya bisa kembali, berkumpul kembali seperti dulu, menguatkannya dan setidaknya bisa berada disamping ibunya disaat-saat buruknya seperti ini.
Lelaki itu menatap istrinya penuh
penyesalan, tangannya masih menggenggam jemari istrinya. Wanita yang selama ini
menemaninya selama 12 tahun, yang bersedia untuk hadir disisinya bahkan saat ia
tak punya apapun didunia.kini terbaring lemah dngan hati yang terluka oleh
semua perilakunya. Ia tahu, selama ini
ia salah, ia menyesali perbuatannya, ia ingin kembali seperti dulu, hanya ada
sesuatu yang menahannya, yang mungkin Kiani akan membencinya.
“Ayah, mau kumpul lagi sama Kiani
dan ibu, kan?” Tanya Kiani polos, ada senyum mengembang diwajahnya meskipun
matanya masih basah oleh air mata.
Ibunya menatap suaminya sayu, air
matanya benar-benar tak terbendung, tangisnya kini terdengar sedikit kencang.
“Aku tegaskan lagi, niat kamu kesini apa?” Wanita itu menegaskan kembali pertanyaannya. Suaminya kini berdiri, menatap istrinya penuh dengan perasaan menyesal dan berdosa.
“Maaf, aku kemarin meperlakukan kamu seburuk itu, aku bodoh, bahkan sekarang aku benci dengan diriku sendiri. Maaf, aku tak bisa menjadi suami yang baik untuk kamu dan untuk anak kita. Seharusnya aku bisa menguatkan kamu tapi sekarang? Aku yang menjadi penyebab kamu hancur” Ungkapnya.
Kiani menggenggam tangan ayah dan
ibunya dengan erat. Ibunya melemparkan pandangannya ke aarah tembok, tak berani
menatap mata suaminya dan sudah muak mendengar suaranya.
“Kiani maafin ayah kok. Kiani gak
mau kehilangan ayah sama ibu. Dunia Kiani itu adanya di ayah dan ibu. Kalo ayah
dan ibu gak ada, Kiani juga mau ikut gak ada. Kiani takut kehilangan ibu, tapi
sekarang ayah disini, Kiani sedikit tenang, setidaknya sekarang ayah nguatin
ibu” Jawab Kiani, kini ia menyatukan jemari ayah dan ibunya.
“Aku.. aku minta cerai”
Deg
Belum juga Kiani sempat
mempererat genggaman keduanya, telinganya harus mendengar pernytaan pahit dari
mulut ayanya itu.
“Aku minta maaf, Kania. Kiani
sayang, maafin ayah ya, nak? Aku terpaksa melakukan ini, wanita itu hamil
olehku Kania. Sudah 3 kali aku menyuruh dia menggugurkan anaknya tapi sekarang,
aku tak tega melihat dia sendirian. Aku tak mau anakku harus dibunuh lagi”
“TEGA KAMU! SECARA GAK SADAR KAMU
UDAH BUNUH AKU DAN KANIA JUGA! SADAR, KANIA JUGA ANAKMU!” Ibunya berteriak,
emosinya bergejolak, matanya terasa panas, badan yang tadinya lemahpun kini
menjadi terduduk, semua rasa sakitnya terkalahkan oleh ucapan suaminya yang
berengsek itu.
“Kamu yang ngelakuin kesalahan dan kamu juga yang memilih pisah dengan alasan sekejam itu?! Kamu harusnya berfikir siapa yang ada pas kamu susah? Kamu harusnya mikir gimana masa depan Kiani tanpa ayah?! Secantik apa sih wanita murahan itu? Sampai kamu memilih dia daripada aku dan Kiani, hah?!”
“Aku kepaksa ngelakuin ini,
Kania! Jika aku tak menikahi dia, dia akan mencemarkan nama baik perusahaan
kita dan itu memperngaruhi ke saham dan investor kita nanti! Dan aku gak bisa
lagi biayain penobatan kamu dan juga biaya sekolah Kiani”
“IBU!!” Kiani kini berteriak histeris dan memeluk ibunya. Ia menangis sejadi-jadinya, badan ibunya tengah panas tinggi dan harus menghadapi ayahnya yang tak tau diri. Ia merasa cukup benci dengan keputusan ayahnya untuk pergi, jangan lagi dengan ibunya.
“CUKUP!! Ayah keluar darisini! Kiani benci ayah!” Kiani mendorong ayahnya keluar kamar, menarik paksa tangan ayahnya ke ambang pintu dan membanting pintu dihadapn wajah ayahnya sekeras mungkin.
Kiani segera menghampiri ibunya
yang masih terduduk tidak percaya, matanya kosong. Ibunya dengan segera memeluk
Kiani kuat-kuat.
“Maafin ibu nak, maafin ibu”
Ucapnya lemah.
Bebetapa hari semenjak kejadian tersebut, dalam keadaan yang sudah agak tenang, Kania, ibu Kiani menyetujui perceraiannya, Kiani kini tak memaksa lagi ayahnya untuk tetap tinggal. Ia tahu bahwa lelaki hanya bisa menyakiti perasaan dan kepercayaannya. Ia merasa cukup tahu dengan semua hal buruk yang ayahnya lakukan kepadanya. Hingga setelah keduanya bercerai, Kiani merawat sendirian ibunya, beruntung Bi Astri menolak mengundurkan diri, ia merasa bahwa sudah menjadi tanggungjawabnya merawat ibu Kiani.
Ia tahu, ibunya tak akan bertahan hidup, akhir-akhir ini uang tabungan ibunya habis karena dipakai biaya pengobatan, meskipun setiap minggu ayahnya selalu mengirim uang untuk biaya hidup dan berobat ibunya, Kiani menolak dan memilih mengembalikan uang itu ke rekening ayahnya.
Beberapa hari ini, ibunya kritis dan rumah sakit seakan-akan rumah kedua bagi Kiani dan Bi Astri. Dokter tak membolehkan ibunya pulang sehingga harus rawat inap di rumah sakit. Hingga pada kemoterapi yang ke enam kali, Ibu Kiani menyerah. Dunia Kiani hancur lagi, ia tak tahu apa yang akan dilakukannya setelah ini, ia merasa tak bisa menerima kehilangan ibunya.
Bi Asri menguatkan Kiani, memeluknya dan meyakinkan bahwa Kiani anak hebat, ia bisa melaluinya dan percaya bahwa Bi Asri akan membersamainya sampai kapanpun.
03 Juli, 2012 merupakan tanggal yang paling Kiani benci, hari ini pemakaman ibunya. Semua orang datang mengucapkan berbela sungkawa atas kepergian ibunya yang menyakitkan itu.
“Kiani, ikut sama bibi ya?”
Seorang wanita berhijab hitam dengan wajah cantinya mengusap lembut Kiani, wanita
itu bernma Laila, adik dari ibunya yang sama-sama memiliki paras cantik. Kiani mengangguk pelan, baginya ia harus bersama dengan keluarganya kali ini.
Ayahnya hanya menatap Kiani dari
kejauhan, tak berani mendekat ke kerumunan, hatinya masih penuh rasa penyesalan
dengan apa yang dilakukannya kepada keluarga kecilnya itu. Disampingnya ada
seoragn wanita yang usianya tak berbeda jauh dengan ibunya, menggandeng tangan
lelaki itu dengan kondisinnya yang hamil besar.
Komentar
Posting Komentar