Saat itu, bulan ke-duabelas di penghujung tahun 2022. Seperti biasa, membiarkan semua hal direfleksikan dan dinilai sejauh mana rencana yang dususun sudah tercapai dalam setahun ini. Aku simpulkan banyak luka dan trauma yang akan sulit hilang sakitnya.
Katanya,
aku menolak setiap orang yang datang karena tidak siap untuk terikat dengan
penilaian mereka. Aku ingin jadi lebih bebas menjadi diri sendiri tanpa harus
melibatkan banyak mata untuk menilai sejauh mana baik dan tidaknya.
Ah,
lagian sebetulnya sudah hampir lima lelaki menawarkan diri untuk masuk dan
membersamai hidupku yang katanya sudah masuk kepala dua. Percaya dengan seorang
lelaki adalah hal yang paling aku antisipasi terjadi. Janji yang dibuat saat
usia yang belum dewasa adalah bualan semata, tak peduli seberapa indah
janjinya.
Aku
sudah muak juga dengan mempersilahkan orang baru masuk ke hati, karena jatuh
cinta di usia kepala dua adalah fase rumit yang harus melibatkan banyak pihak,
rasa, juga persetujuan orang tua.
Bagiku
yang lebih menarik adalah tentang duduk berdiskusi di sekre kampus, sambil
sesekali berbincang mengenai regulasi kampus yang tak sejalan dengan keadaan
mahasiswa, atau bagaimana birokrasi organisasi di masa transisi kampus menjadi
sebuah universitas. Bagiku, perbincangan seperti itu lebih menarik dan berarti
daripada bergantung dan berharap mendapatkan bualan dan romantisme dari seorang
lelaki.
Kadang,
keseharianku juga seringnya berdiskusi panjang lebar mengenai teori benar atau
salah berdasarkan pandangan para pilsuf, yang kadang membutuhkan waktu seharian
untuk menemukan penyelesainnya. Waktu itu, terdapat juga ajakan rencana demo
menuju gedung pemerintah di Sumedang, membahas mengenai bagaimana RUU KUHP akan
disahkan dan merugikan masyarakat. Sungguh cinta dan romantisme bukanlah
prioritasku saat itu.
Hari
itu, tiba tiba saja terlintas nama seseorang. Seorang kaka tingkat yang sudah
lulus sekitar dua tahun lalu. Dia seorang lelaki, sedikit masuk standar "pasangan" di masa depanku, tapi
rasanya itu akan rumit karena pastinya, aku harus menghadapi banyak perempuan
yang menyukainya secara gila-gilaan.
Aku
paling menghindari berada diposisi seperti itu, hal seperti itu rasanya bukan
ajang untuk mendapatkan kesempatan mencuri perhatiannya. Apalagi sampai
membiarkan diri sendiri berubah demi mendapatkan secuil sapa dan perasaannya.
Jauh sekali dengan prinsipku.
Tapi
hari itu, entah kenapa aku sedikit penasaran dengan kabarnya? Setauku, meskipun
dia sudah lulus dari kampus, namanya masih saja terdengar diantara obrolan
teman-teman sekelasku. Memujinya, bahkan menebak-nebak siapa yang akan jadi
istrinya di masa depan?
Obrolan
seperti itu selalu saja hadir, aku bahkan selalu bingung harus menanggapi
obrolan itu dengan reaksi seperti apa.
Kau
tahu? Di penghujung tahun itu, dia datang. Menawarkan diri untuk saling
mengenal lebih jauh.
Fikiranku
agak berantakan, bukan! Bukan karena aku senang atau gemetar menjadi seseorang
yang punya peluang menjadi pendamping hidupnya di masa depan. Aku hanya tak
siap jika berurusan kembali dengan berbagai hal yang rumit, bagiku seluruh
hidupku sudah cukup berantakan.
Aku
sengaja memperlambat prosesnya, sambil terus memikirkan bagaimana menghadapi
situasi seprrti ini?
Aku
akan ceritakan ia, lebih detail. Bahkan jauh sebelum kami saling tahu satu sama
lain.
Senyam senyum sendiri saat mengeja rentetan klausanya.. Merasa all in masuk dalam tulisan.. Menghadirkan rasa lebih mendalami masanya..
BalasHapusKutunggu lanjutanya :)
🖤
Hapus